UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan
berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Mengingat
: 1.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal
25 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4380);
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN
TATA USAHA NEGARA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4380) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan
tinggi tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.
2. Hakim adalah hakim pada pengadilan tata usaha negara dan hakim pada
pengadilan tinggi tata usaha negara.
3. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam
salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang
diatur dalam undang-undang.
6. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
7. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan
fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah.
8. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hokum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
10. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau
pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
12. Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
2. Ketentuan Pasal 9A diubah sehingga Pasal 9A berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9A
(1) Di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat
dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad
hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan
keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu
tertentu.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan dan pemberhentian serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam
ketentuan peraturan perundangundangan.
3. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 6 (enam) pasal yakni
Pasal 13A, Pasal 13B, Pasal 13C, Pasal 13D, Pasal 13E, dan Pasal 13F yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
(1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan
oleh Mahkamah Agung.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Pasal 13B
(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian
tidak tercela, jujur, adil, profesional, bertakwa dan berakhlak mulia, serta
berpengalaman di bidang hukum.
(2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Pasal 13C
(1) Dalam melakukan pengawasan hakim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13A ayat (2), Komisi Yudisial melakukan koordinasi dengan Mahkamah
Agung.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengawasan
eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan bersama dilakukan
oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pasal 13D
(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A ayat (2), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan
terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Komisi Yudisial berwenang:
a. menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat
dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
b. memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
c. dapat menghadiri persidangan di pengadilan;
d. menerima dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah
Agung dan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
e. melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf d;
f. meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung
dan/atau pengadilan;
g. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari
hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk
kepentingan pemeriksaan; dan/atau
h. menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Pasal 13E
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13A, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib:
a. menaati norma dan peraturan perundangundangan;
b. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.
(2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
(4) Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan
internal hakim diatur dalam undangundang.
Pasal 13F
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi
untuk melakukan mutasi hakim.
4. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan
tata usaha negara, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. sarjana hukum;
e. lulus pendidikan hakim;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi
40 (empat puluh) tahun;
h. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban; dan
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil
ketua pengadilan tata usaha negara hakim harus berpengalaman paling singkat 7
(tujuh) tahun sebagai hakim pengadilan tata usaha negara.
5. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1) Pengangkatan hakim pengadilan tata usaha Negara
dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan
tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi
diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
6. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah sehingga Pasal 15 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan
tinggi tata usaha negara, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, dan huruf h.
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil
ketua pengadilan tata usaha negara, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan
tata usaha negara;
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan
e. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat
melakukan pelanggaran Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi
tata usaha negara harus berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai
hakim pengadilan tinggi tata usaha negara atau 3 (tiga) tahun bagi hakim
pengadilan tinggi tata usaha negara yang pernah menjabat ketua pengadilan tata
usaha negara.
(3) Untuk dapat diangkat
menjadi wakil ketua pengadilan tinggi tata usaha negara harus berpengalaman
paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi tata usaha Negara
atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan tinggi tata usaha negara yang pernah
menjabat ketua pengadilan tata usaha negara.
7. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat
(2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 16
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Hakim pengadilan diangkat
oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(1a) Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden
atas usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah
Agung.
(1b) Usul pemberhentian hakim yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) hanya dapat dilakukan apabila
hakim yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Ketua dan wakil ketua
pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
8. Ketentuan Pasal 19 ayat (1) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan
hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. atas permintaan sendiri secara tertulis;
b. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan tata usaha negara, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi
ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi tata usaha negara; dan/atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal
dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden.
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan
tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus
menerus selama 3 (tiga) bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18; dan/atau
f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Usul pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada
Presiden.
(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.
(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial.
(6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial
mengajukan usul pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5), hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di
hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
Dalam hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena atas permintaan sendiri secara tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai hakim.
11. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 22 disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (1a) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Ketua, wakil ketua, dan
hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(3) Pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam)
bulan.
12. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1) Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
(2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan
berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak
lainnya.
(3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. tunjangan jabatan; dan
b. tunjangan lain berdasarkan peraturan perundangundangan.
(4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berupa:
a. rumah jabatan milik negara;
b. jaminan kesehatan; dan
c. sarana transportasi milik negara.
(5) Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan
dalam melaksanakan tugasnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok,
tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
13. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tata usaha
negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah sarjana hukum;
e. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera,
5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tata usaha negara, atau
menjabat sebagai wakil panitera pengadilan tinggi tata usaha negara; dan
f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.
14. Ketentuan Pasal 29 huruf b dihapus sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi tata usaha
negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf f;
b. dihapus;
c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera,
5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi tata usaha negara, atau
3 (tiga) tahun sebagai panitera pengadilan tata usaha negara.
15. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tata usaha
negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman paling
singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda atau 4 (empat) tahun sebagai
panitera pengganti pengadilan tata usaha negara.
16. Ketentuan Pasal 31 huruf b dihapus sehingga Pasal 31 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi tata
usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf f;
b. dihapus;
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda, 5
(lima) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi pengadilan tata usaha
negara, 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera pengadilan tata usaha negara,
atau menjabat sebagai panitera pengadilan tata usaha negara.
17. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga Pasal 32
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tata usaha
negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera
pengganti pengadilan tata usaha negara.
18. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi tata
usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera
pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara, 3 (tiga) tahun sebagai panitera
muda, 5 (lima) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tata usaha negara,
atau menjabat sebagai wakil panitera pengadilan tata usaha negara.
19. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tata
usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri
pada pengadilan tata usaha negara.
20. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi
tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera
pengganti pengadilan tata usaha negara atau 8 (delapan) tahun sebagai pegawai
negeri pada pengadilan tinggi tata usaha negara.
21. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
Panitera tidak boleh merangkap menjadi:
a. wali;
b. pengampu;
c. advokat; dan/atau
d. pejabat peradilan lainnya.
22. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 38A dan Pasal 38B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38A
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti
pengadilan tata usaha negara diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus;
d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera,
panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara;
e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil
panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha
negara; dan/atau
f. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 38B
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti
pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus
menerus selama 3 (tiga) bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36; dan/atau
f. melanggar kode etik panitera.
23. Ketentuan Pasal 39B diubah sehingga Pasal 39B berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39B
(1) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah pendidikan menengah;
e. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai juru sita
pengganti; dan
f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita
pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri
pada pengadilan tata usaha negara.
24. Ketentuan Pasal 41 dihapus
25. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
Untuk dapat diangkat menjadi wakil sekretaris pengadilan tata
usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana administrasi;
e. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di bidang administrasi
peradilan; dan
f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.
26. Ketentuan Pasal 43
diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
Untuk dapat diangkat menjadi wakil sekretaris pengadilan tinggi
tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun di bidang administrasi
peradilan.
27. Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 51A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51A
(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat
untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara
dalam proses persidangan.
(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada
para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan dikenai
sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
28. Ketentuan Pasal 52 ayat (1) diubah dan diantara ayat (1) dan ayat
(2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1) Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas hakim.
(1a) Ketua Pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru sita di daerah hukumnya.
(2) Selain tugas melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (1a), ketua pengadilan tinggi tata usaha negara di
daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat
pengadilan tata usaha negara dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (1a) ketua pengadilan dapat memberikan petunjuk,
teguran, dan peringatan.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (1a), dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
29. Di antara Pasal 107 dan Pasal 108 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 107A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107 A
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim
harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar.
30. Ketentuan Pasal 116 diubah, sehingga Pasal 116 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 116
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat
tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan
huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat
tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera
sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini
kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada
lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif,
dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif
diatur dengan peraturan perundang-undangan.
31. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga Pasal 135 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 135
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc,
seseorang harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
kecuali huruf d, huruf e, dan huruf h.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi hakim ad hoc.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan
32. Di antara Pasal 144 dan Aturan Tambahan ditambah 4 (empat) pasal
yakni Pasal 144A, Pasal 144B, Pasal 144C, dan Pasal 144D yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 144A
(1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan
tata usaha negara dapat menarik biaya perkara.
(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.
(3) Biaya perkara sebagaimana pada ayat (1)
meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara.
(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), merupakan penerimaan negara bukan pajak yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibebankan pada pihak atau para pihak yang berperkara yang ditetapkan oleh Mahkamah
Agung.
(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas biaya perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 144B
(1) Setiap pejabat peradilan dilarang menarik biaya
selain biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144A ayat (3).
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 38B.
Pasal 144C
(1) Setiap orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
(2) Negara menanggung
biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu
dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan.
Pasal 144D
(1) Pada setiap pengadilan tata usaha negara
dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam
memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan
terhadap perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober
2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 160
Salinan sesuai dengan
aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan
Bidang Politik dan
Kesejahteraan Rakyat,
Wisn
Setiawan
sesuai dengan aslinya
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah
membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga
membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh
perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman.
Pembentukan atau perubahan perundang-undangan tersebut dilakukan dalam
usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Perubahan kedua yag dilakukan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara meletakkan dasar kebijakan bahwa segala
urusan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut teknis yudisial
maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung
maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan
Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara
lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel,
dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
5. kesejahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban
biaya perkara;
8. bantuan hukum; dan
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk mewujudkan
penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih
serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu
(integrated justice system), terlebih pengadilan tata usaha negara
secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah
Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tata usaha negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 9A
Ayat (1)
Pengadilan khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di
lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 13A
Ayat (1)
“Pengawasan internal” atas tingkah laku hakim agung diperlukan
meskipun sudah ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim benar-benar terjaga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13B
Cukup jelas.
Pasal 13C
Cukup jelas.
Pasal 13D
Cukup jelas.
Pasal 13E
Cukup jelas.
Pasal 13F
Yang dimaksud dengan
“mutasi” dalam ketentuan ini meliputi promosi dan demosi.
Angka 4
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Agung dan
Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta yang terakreditasi A dalam jangka waktu yang
ditentukan dan melalui proses seleksi yang ketat.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 14A
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud “dengan peraturan perundangundangan” adalah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
Angka 10
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “diberhentikan sementara” dalam ketentuan ini
adalah sanksi yang dikenakan kepada seorang hakim untuk tidak memeriksa dan
mengadili perkara dalam jangka waktu tertentu selain pemberhentian sementara
yang dimaksud dalam Undang-Undang Kepegawaian.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sarana transportasi” adalah kendaraan yang
dapat berupa kendaraan bermotor ataupun bentuk lainnya yang digunakan untuk menunjang
tugas-tugas hakim.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan
tugasnya” adalah hakim diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan
memimpin persidangan. Hakim harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat
terkait yakni aparat kepolisian agar hakim mampu memeriksa, mengadili dan
memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari
pihak manapun.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pejabat peradilan lainnya” adalah sekretaris
pengadilan, wakil sekretaris pengadilan, wakil panitera, panitera muda,
panitera pengganti, juru sita, juru sita pengganti, dan pejabat struktural
lainnya.
Angka 22
Pasal 38A
Cukup jelas.
Pasal 38B
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 39 B
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pendidikan menengah” adalah Sekolah Menengah
Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk pendidikan lain yang sederajat.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 51 A
Ayat (1)
Terkait dengan berlakunya Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik, pengadilan wajib membuka atau memberikan akses kepada masyarakat untuk mengetahui
informasi dan data mengenai putusan serta biaya perkara di pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal salinan putusan tidak disampaikan, ketua pengadilan yang
bersangkutan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Ketua Mahkamah
Agung.
Angka 28
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 107 A
Ayat (1)
Dalam membuat penetapan dan putusan, hakim harus bersandar pada
keadilan hukum dan norma yang ada dan berlaku di masyarakat. Berdasarkan hal
tersebut, seorang hakim tidak dibenarkan untuk membuat penetapan atau putusan
yang didasarkan oleh adanya kepentingan dan atau keuntungan pribadi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 116
Ayat (1)
Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap,
para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan
panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang
waktu 14 (empat belas) hari dihitung sejak saat putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hokum tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang bersangkutan dikenakan uang
paksa” dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang
yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar
putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan penggugat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan berkewajiban
untuk melakukan pembinaan terhadap aparatur pemerintah yang tidak menjalankan
fungsi pemerintahan dengan baik.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 135
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 144A
Cukup jelas.
Pasal 144B
Cukup jelas.
Pasal 144C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”kelurahan” dalam ketentuan ini termasuk
desa, banjar, nagari dan gampong.
Pasal 144D
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bantuan hukum yang diberikan “secara
cuma-cuma” adalah bantuan hukum yang diberikan sampai pada pelaksanaan eksekusi
putusan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5079
Tidak ada komentar:
Posting Komentar