Jumat, 06 April 2012

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1951 TENTANG TINDAKAN - TINDAKAN SEMENTARA UNTUK MENYELENGGARAKAN KESATUAN SUSUNAN KEKUASAAN DAN ACARA PENGADILAN - PENGADILAN SIPIL

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1951
TENTANG
TINDAKAN - TINDAKAN SEMENTARA UNTUK MENYELENGGARAKAN
KESATUAN SUSUNAN KEKUASAAN DAN ACARA PENGADILAN -
PENGADILAN SIPIL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
Bahwa perlu diadakan peraturan tentang tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan. kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
Menimbang pula:
Bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, peraturan ini perlu segera diadakan.
Mengingat:
1. pasal-pasal 96, 101, 102, 103, 132, 133 dan 142 Undang- undang Dasar Sementara
Republik Indonesia;
2. Undang-undang tentang penghapusan Pengadilan - Raja (Zelfbestuursrechtspraak) di
Jawa dan Sumatera (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1947 No.23) yuncto
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 tahun 1950 tentang peraturan
daerah pulihan, setelah diubah dengan Undang-undang No.8 tahun 1950;
3. pasal 9 ayat 3 kontrak politik yang dibuat dengan pemerintah-pemerintah Swapraja
dalam Negara Sumatera Timur dahulu, karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan
Negara Indonesia Timur dahulu (Staatsblad 1939 No.146, 612 dan 613), pula pasal 9
ayat 3 "Peraturan Swapraja 1938" (Staatsblad 1938 No.529) yang sekedar mengenai
daerah-daerah Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu karesidenan Kalimantan
Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu yang hubungannya dengan
Pemerintah Republik Indonesia diperintahkan oleh yang disebut "Korte Verklaring".
MEMUTUSKAN:
A. Mencabut peraturan-peraturan atau pasal-pasal peraturan-peraturan yang bertentangan
dengan Undang-undang ini.
B. Menetapkan:
UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG TINDAKAN - TINDAKAN
SEMENTARA UNTUK MENYELENGGARAKAN KESATUAN SUSUNAN,
KEKUASAAN DAN ACARA PENGADILAN - PENGADILAN SIPIL.
Pasal 1
(1) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, dihapuskan:
a Mahkamah Justisi di Makasar dan alat Penuntutan Umum padanya;

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983
Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana
Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 27 TAHUN 1983 (27/1983)
Tanggal : 1 AGUSTUS 1983 (JAKARTA)
Sumber : LN 1983/36; TLN NO. 3258
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
bahwa perlu diadakan peraturan pelaksanaan ketentuan Kitab Undangundang
Hukum Acara Pidana;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan
1. KUHAP adalah singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 285 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
2. Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat
tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan;
3. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara selanjutnya disebut
RUPBASAN adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk
keperluan proses peradilan;
4. Benda sitaan adalah benda yang disita oleh Negara untuk keperluan
proses peradilan;
5. Menteri adalah Menteri Kehakiman.
BAB II
SYARAT KEPANGKATAN DAN PENGANGKATAN PENYIDIK
Pasal 2
(1) Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang
sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan 11/b) atau yang
disamakan dengan itu.
(2) Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan
Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan
Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh
Menteri atas usul dari Departemen"yang membawahkan pegawai
negeri tersebut. Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih
dulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 3
(1) Penyidik pembantu adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang
sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda (Golongan 11/a) atau yang
disamakan dengan itu.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b
diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul
komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
(3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB III
PAKAIAN ATRIBUT DAN PERANGKAT
KELENGKAPAN PERSIDANGAN
Pasal 4
(1) Selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut
umum, panitera dan penasehat hukum, menggunakan pakaian
sebagaimana diatur dalam pasal ini.
(2) Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim, penuntut
umum dan penasehat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan
lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam.
(3) Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum
adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef.
(4) Pakaian bagi panitera dalam persidangan adalah jas berwarna hitam,
kemeja putih dan dasi hitam.
(5) Hal yang berhubungan dengan ukuran dan warna dari simare dan bef
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) serta kelengkapan pakaian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(6) Selain memakai pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hakim
dan penuntut umum memakai atribut.
(7) Atribut sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 5
Ketentuan mengenai pakaian dan atribut dalam sidang bagi hakim agung dan
panitera pada Mahkamah Agung, diatur tersendiri oleh Mahkamah Agung.
Pasal 6
Ketentuan mengenai pakaian dalam sidang pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 tidak berlaku bagi pemeriksaan peradilan anak.
BAB IV
GANTI KERUGIAN
Pasal 7
(1) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan
sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara
yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka
waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan penetapan
praperadilan.
Pasal 8
(1) Ganti kerugian dapat diberikan atas dasar pertimbangan hakim.
(2) Dalam hal hakim mengabulkan atau menolak tuntutan ganti kerugian,
maka alasan pemberian atau penolakan tuntutan ganti kerugian
dicantumkan dalam penetapan.
Pasal 9
(1) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan
serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana
dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit
atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati,
besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,-
(tiga juta rupiah).
Pasal 10
(1) Petikan penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari
setelah penetapan diucapkan.
(2) Salinan penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik dan Direktorat
Jenderal Anggaran dalam hal ini Kantor Perbendaharaan Negara
setempat.
Pasal 11
(1) Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
(2) Tata cara pembayaran ganti kerugian diatur lebih lanjut oleh Menteri
Keuangan.
BAB V
REHABILITASI
Pasal 12
Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3)
KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan
yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan
diberitahukan kepada pemohon.
Pasal 13
(1) Petikan penetapan praperadilan mengenai rehabilitasi disampaikan
oleh panitera kepada pemohon.
(2) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
kepada penyidik dan penuntut umum yang menangani perkara
tersebut.
(3) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan pula kepada instansi tempat bekerja yang bersangkutan
dan kepada Ketua Rukun Warga di tempat tinggal yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai
berikut :
"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya".
(2) Amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi
sebagai berikut :
"Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya".
Pasal 15
Isi putusan atau penetapan rehabilitasi diumumkan oleh penitera dengan
menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan.
BAB VI
PRAPERADILAN PADA KONEKSITAS
Pasal 16
Praperadilan dalam tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh
mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan
militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 KUHAP didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing peradilan.
BAB VII
PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA TERTENTU
Pasal 17
Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat
(2)KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang
berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
RUMAH TAHANAN NEGARA
Pasal 18
(1) Di tiap Ibukota Kabupaten atau Kotamadya dibentuk RUTAN oleh
Menteri.
(2) Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk atau menunjuk
RUTAN di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
merupakan cabang dari RUTAN.
(3) Kepala Cabang RUTAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Di dalam RUTAN ditempatkan tahanan yang masih dalam proses
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri,
pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
(2) Tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan
tingkat pemeriksaan.
(3) Untuk keperluan administrasi tahanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)dibuat daftar tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penggolongan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Kepala RUTAN tidak boleh menerima tahanan dalam RUTAN, jika tidak
disertai surat penahanan yang sah dikeluarkan pejabat yang
bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan
tingkat pemeriksaan.
(5) Kepala RUTAN tiap bulan membuat daftar mengenai tahanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan disampaikan kepada
Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan
tembusan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas
tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan.
(6) Kepala RUTAN memberitahukan kepada pejabat yang bertanggung
jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat
pemeriksaan mengenai tahanan yang hampir habis masa penahanan
atau perpanjangan penahanannya.
(7) Kepala RUTAN demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis
masa penahanan atau perpanjangan penahanannya.
(8) Dalam hal tertentu tahanan dapat diberi izin meninggalkan RUTAN
untuk sementara dan untuk keperluan ini harus ada izin dari pejabat
yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu.
(9) Pada RUTAN ditugaskan dokter yang ditunjuk oleh Menteri, guna
memelihara dan merawat kesehatan tahanan.
(10) Tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) selama berada di luar
RUTAN dikawal dan dijaga oleh petugas Kepolisian.
Pasal 20
(1) Izin kunjungan bagi penasehat hukum, keluarga dan lain-lainnya
diberikan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas
tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(2) Pengaturan mengenai hari, waktu kunjungan, dan persyaratan lainnya,
ditetapkan oleh Kepala RUTAN.
(3) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
hakim pengadilan tinggi dan hakim agung, wewenang pemberian izin
kunjungan dilimpahkan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah
hukumnya terdapat RUTAN tempat tersangka atau terdakwa ditahan.
Pasal 21
(1) RUTAN dikelola oleh Departemen Kehakiman.
(2) Tanggung jawab juridis atas tahanan ada pada pejabat yang menahan
sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(3) Tanggung jawab secara fisik atas tahanan ada pada Kepala RUTAN.
(4) Tanggung jawab atas perawatan kesehatan tahanan ada pada dokter
yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 22
(1) RUTAN dipimpin oleh Kepala RUTAN yang diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri.
(2) Dalam melakukan tugasnya Kepala RUTAN dibantu oleh Wakil Kepala.
Pasal 23
(1) Kepala RUTAN mengatur tata tertib RUTAN berdasarkan pedoman
yang ditentukan oleh Menteri.
(2) Kepala RUTAN tiap tahun membuat laporan kepada Menteri mengenai
tahanan yang di bawah pengawasannya.
(3) Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa
Agung dan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 24
Struktur organisasi, tugas dan wewenang RUTAN diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 25
(1) Pejabat dan pegawai RUTAN dalam melakukan tugasnya memakai
pakaian dinas seragam.
(2) Bentuk dan warna pakaian dinas seragam sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) serta perlengkapannya diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Pejabat atau pegawai tertentu RUTAN dalam melakukan tugasnya
dapat dipersenjatai dengan senjata api laras panjang atau senjata api
genggam atas izin Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
BAB IX
RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA
Pasal 26
(1) Di tiap Ibukota Kabupaten/Kotamadya dibentuk RUPBASAN oleh
Menteri.
(2) Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk RUPBASAN di luar
tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan
cabang RUPBASAN.
(3) Kepala Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Pasal 27
(1) Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk
keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang
yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim.
(2) Dalam. hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN, maka cara penyimpanan
benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala RUPBASAN.
(3) Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin
keselamatan dan keamanannya.
(4) Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan
untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai
surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
bertanggungjawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.
Pasal 28
(1) Penggunaan benda sitaan bagi keperluan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan, harus ada surat permintaan dari pejabat
yang bertanggungjawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.
(2) Pengeluaran barang rampasan untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan
atas permintaan jaksa secara tertulis.
(3) kepala RUPBASAN menyaksikan pemusnahan barang rampasan yang
dilakukan oleh jaksa.
Pasal 29
Kepala RUPBASAN setiap triwulan membuat laporan tentang benda sitaan
yang disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal
Pemasyarakatan dengan tembusan kepada pejabat yang bertanggung jawab
secara juridis atas benda sitaan tersebut sesuai dengan tingkat pemeriksaan
dan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang
bersangkutan.
Pasal 30
(1) RUPBASAN dikelola oleh Departemen Kehakiman.
(2) Tanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut, ada pada
pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(3) Tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan tersebut ada pada
Kepala RUPBASAN.
Pasal 31
(1) RUPBASAN dipimpin oleh Kepala RUPBASAN yang diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri.
(2) Dalam melakukan tugasnya Kepala RUPBASAN dibantu oleh Wakil
Kepala
Pasal 32
(1) Di samping tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) Kepala RUPBASAN
bertanggung jawab atas administrasi benda sitaan.
(2) Kepala RUPBASAN tiap tahun membuat laporan kepada Menteri
mengenai benda sitaan.
(3) Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa:
Agung dan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 33
Struktur organisasi, tugas dan wewenang RUPBASAN diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 34
(1) Pejabat dan pegawai RUPBASAN dalam melakukan tugasnya memakai
pakaian dinas seragam.
(2) Bentuk dan warna pakaian dinas seragam sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) serta perlengkapannya diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Pejabat atau pegawai tertentu RUPBASAN dalam melakukan tugasnya
dapat dipersenjatai dengan senjata api laras panjang atau senjata api
genggam atas izin Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
BAB X
JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN
Pasal 35
(1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di
kepaniteraan pengadilan negeri.
(2) Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat
waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut
menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.
Pasal 36
(1) Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa
melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak
diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya
telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat
pemeriksaan.
(2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke Kas Negara
melalui panitera pengadilan negeri.
(3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang
dimaksud ayat (1) jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang
dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
(1) Sebelum penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyidik
pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diangkat berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini, penyidik dan penyidik pembantu yang ada
tetap menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan
pengangkatan sebelumnya.
(2) Dua tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, pengangkatan
dan kepangkatan penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 38
(1) Sebelum terbentuknya RUTAN berdasar Peraturan Pemerintah ini
Menteri menetapkan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai
RUTAN.
(2) Menteri dapat menetapkan tempat tahanan yang terdapat dalam
jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan dan tempat
lainnya sebagai cabang RUTAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2).
(3) Kepala cabang RUTAN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
memberi laporan bulanan tentang tahanan kepada Kepala RUTAN yang
daerah hukumnya meliputi cabang RUTAN tersebut.
Pasal 39
(1) Sebelum terbentuknya RUPBASAN berdasar Peraturan Pemerintah ini,
penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor
Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor Kejaksaan Negeri, di
kantor Pengadilan Negeri dan tempat-tempat lain sesuai dengan
ketentuan dalam KUHAP.
(2) Pengelolaan dan biaya penyimpanan benda sitaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan dibebankan pada masingmasing
instansi yang bersangkutan.
(3) Pejabat yang bertanggung jawab atas penyimpanan benda sitaan
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan setiap 6
(enam) bulan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal
Pemasyarakatan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
I. UMUM
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP
tercantum ketentuan yang memerlukan peraturan pelaksanaannya,
misalnya :
a. Pasal 6 ayat (1) yang mengatur syarat kepangkatan bagi
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang penyidikan;
b. Pasal 10 ayat (1) yang mengatur syarat kepangkatan bagi
pejabat Kepolisian Negara. Republik Indonesia, dan pegawai
negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang diangkat sebagai penyidik pembantu;
c. Pasal 231 ayat (1) mengenai jenis,bentuk,dan warna pakaian
sidang serta atribut dan hal lain yang berhubungan dengan
perangkat kelengkapan sidang bagi hakim, penuntut umum,
panitera dan penasihat hukum.
Selain pelaksanaan ketentuan tersebut di atas yang perlu diatur
dalam Peraturan Pemerintah ada pula yang perlu diatur dengan
Keputusan Menteri Kehakiman sebagaimana tercantum dalam Pasal
231 ayat (2) yaitu mengenai tata tertib persidangan.
Dalam KUHAP tercantum beberapa pasal yang merupakan
materi baru, antara lain mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi,
yang tercantum dalam BAB XII, rumah tahanan negara (RUTAN)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a,rumah
penyimpanan benda sitaan negara (RUPBASAN)sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
Sebagai materi baru perlu diatur pelaksanaannya, misalnya
mengenai ganti kerugian, kapan dapat diajukan tuntutan ganti
kerugian, batas jumlahnya,dan siapa yang membayar.Demikian pula
dalam rehabilitasi diatur mengenai jangka waktu mengajukan
rehabilitasi dan cara mengajukan permintaan rehabilitasi.
Sehubungan dengan diaturnya tindak pidana koneksitas, dalam
BAB XI KUHAP maka diatur ketentuan mengenai praperadilan dalam
perkara koneksitas.
Agar supaya ada kesatuan pendapat mengenai makna dari Pasal
284 maka dalam Peraturan Pemerintah ini perlu ada pengaturan
mengenai hal ini. Dalam BAB RUTAN diatur mengenai tempat
kedudukan,pengelolaan serta hubungan pejabat RUTAN dengan
pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan.
Dalam BAB RUPBASAN diatur hal-hal mengenai tempat
kedudukan, pengelolaan serta pejabat yang bertanggung jawab atas
benda-benda sitaan dan barang yang dirampas untuk negara,baik
secara juridis maupun secara fisik.
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pula mengenai
jaminan penangguhan penahanan dalam BAB tersendiri.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1), (2), (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kewenangan penunjukan termasuk kewenangan untuk
pembebasan.
Ayat (5)
Usul Pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil oleh
Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut,
diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada Jaksa Agung
dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia guna kepentingan
pembuatan rekomendasi.
Ayat (6)
Kewenangan termasuk kewenangan pemberhentian.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini ketentuan yang
mengatur mengenai perangkat kelengkapan persidangan yang
diatur dalam Staatsblad Tahun 1848 Nomor 8 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Ayat (6) dan (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Dengan menggunakan pakaian tidak resmi,akan menimbulkan suasana
kekeluargaan dan akan memberi pengaruh yang baik bagi anak sebagai
terdakwa.
Pasal 7
Pembatasan jangka waktu pengajuan ganti kerugian dimaksud agar
penyelesaiannya tidak terlalu lama sehingga menjamin kepastian hukum.
Pasal 8
Ayat (1)
Dalam menetapkan dikabulkan atau tidaknya tuntutan ganti kerugian,hakim
mendasarkan pertimbangannya kepada kebenaran dan keadilan, sehingga
dengan demikian tidak semua tuntutan ganti kerugian akan dikabulkan oleh
hakim. Misalnya apabila tuntutan tersebut didasarkan atas hal yang
menyesatkan atau bersifat menipu, maka tepat kalau tuntutan demikian itu
ditolak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Pembayaran ganti kerugian dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Apabila permintaan rehabilitasi diajukan bersama-sama dengan permintaan
mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP maka penetapan tentang
rehabilitasi dicantumkan sekaligus dengan penetapan sah tidaknya
penangkapan atau penahanan tersebut.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Dalam hal permohonan rehabilitasi diajukan oleh keluarga atau kuasanya,
maka pemulihan hak itu untuk yang dimohonkan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara
khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa dan
pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Bagi penyidik dalam Perairan Indonesia, zona tambahan, Landas kontinen
dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh perwira
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang
ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cabang RUTAN bertempat kedudukan di dalam wilayah kecamatan.
Ayat (3)
Kepala Cabang RUTAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas
usul pimpinan yang bersangkutan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tempat tahanan untuk pria dewasa, wanita dewasa, anak laki-laki dan anak
perempuan masing-masing dipisahkan satu sama lain.
Tempat tahanan anak perlu dipisahkan dari orang dewasa, agar jangan
sampai anak tersebut mendapat pengaruh yang kurang baik.
Untuk memudahkan administrasi dan pengawasan, selain pemisahan
tahanan berdasar jenis kelamin dan umur, diadakan pula pemisahan
berdasarkan tingkat pemeriksaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pengeluaran tahanan oleh pejabat yang berwenang menahan,namun apabila
sampai pada waktunya masa tahanan habis,belum ada perintah
perpanjangan atau perintah pengeluaran,pejabat RUTAN berwenang
mengeluarkan tahanan tersebut demi hukum.
Untuk menghindarkan masalah tersebut,maka paling lambat 10
(sepuluh)hari sebelum masa tahanan habis Kepala RUTAN memperingatkan
kepada pejabat yang bertanggungjawab secara juridis tentang hampir
habisnya masa tahanan tersebut.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu dalam ayat ini adalah :
a. Apabila tahanan menderita sakit yang memerlukan perawatan
dan/atau pemeriksaan dokter di luar RUTAN, maka selain harus
memenuhi ketentuan ayat ini, harus pula disertai keterangan
dokter RUTAN yang ditunjuk oleh Menteri.
b. Pulang ke rumah keluarganya,karena keluarga sakit
keras,kematian anak,isteri,orang tua dan sebagainya yang
menurut pertimbangan pejabat yang bertanggung jawab secara
juridis dapat disetujui.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas
tahanan yaitu penyidik, penuntut umum atau hakim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Kepala RUTAN bertanggung jawab atas pengawasan tahanan yang
menyangkut kesejahteraan tahanan dan pengawasan atas keamanan dari
tahanan, jika diperlukan minta bantuan dari kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepala Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usul
pimpinan yang bersangkutan.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Batang atau benda yang tidak dimungkinkan untuk disimpan dalam
RUPBASAN adalah seperti, antara lain kapal laut.
Ayat (3) dan (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Penyerahan uang jaminan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dilakukan
sendiri oleh pemberi jaminan dan untuk itu panitera memberikan tanda
terima.
Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Jumlah uang sebagaimana dimaksud dalam ayat ini ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, pada waktu menerima
permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan orang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hasil penjualan lelang benda sitaan tersebut, sejumlah yang telah ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disetorkan
ke Kas Negara sebagai pembayaran dari penjamin.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Pembentukan RUTAN akan dilakukan secara berangsur-angsur. Sebelum
terbentuknya RUTAN berdasarkan Peraturan Pemerintah ini Menteri
Kehakiman menetapkan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai RUTAN.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
______________________________________

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan;
d. bahwa Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi;
e. bahwa dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e tersebut di atas serta untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan minyak dan gas bumi, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1); Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi;
3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;
4. Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi;
5. Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi;
6. Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk
memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi di luar Wilayah Kerja;
7. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi;
8. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan;
9. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya;
10. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga;
11. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan;
12. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi;
13. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi;
14. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa;
15. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia;
16. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi;
17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia;
19. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
20. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba;
21. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri;
22. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah;
23. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi;
24. Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir;
25. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
BAB II AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-undang ini berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan :
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;
b. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan
Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan;
c. menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri;
d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia;
f. menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.
BAB III PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN
Pasal 4
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
(3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.
Pasal 5
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas :
1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup :
a. Eksplorasi;
b. Eksploitasi.
2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup :
a. Pengolahan;
b. Pengangkutan;
c. Penyimpanan;
d. Niaga.
Pasal 6
(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.
(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan :
a. kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
c. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Pasal 7
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 dilaksanakan dengan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 20.
(2) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Pasal 8
(1) Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Kegiatan usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum, pengusahaannya diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.
(4) Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengatur.
Pasal 9
(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. koperasi; usaha kecil;
d. badan usaha swasta.
(2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu.
Pasal 10
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir.
(2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.
BAB IV KEGIATAN USAHA HULU
Pasal 11
(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
(2) Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu :
a. penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c. kewajiban pengeluaran dana;
d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. penyelesaian perselisihan;
g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
h. berakhirnya kontrak;
i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j. keselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup;
l. pengalihan hak dan kewajiban;
m. pelaporan yang diperlukan;
n. rencana pengembangan lapangan;
o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Pasal 12
(1) Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah.
(2) Penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 13
(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja.
(2) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja.
Pasal 14
(1) Jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun.
(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 15
(1) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) terdiri atas jangka waktu Eksplorasi dan jangka waktu Eksploitasi.
(2) Jangka waktu Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan 6 (enam) tahun dan dapat diperpanjang hanya 1 (satu) kali periode yang dilaksanakan paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 16
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya secara bertahap atau seluruhnya kepada Menteri.
Pasal 17
Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang telah mendapatkan persetujuan pengembangan lapangan yang pertama dalam suatu Wilayah Kerja tidak melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu Eksplorasi wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Menteri.
Pasal 18
Pedoman, tata cara, dan syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja Sama, serta pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Untuk menunjang penyiapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilakukan Survei Umum yang dilaksanakan oleh atau dengan izin Pemerintah.
(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau Eksplorasi dan Eksploitasi adalah milik negara yang dikuasai oleh Pemerintah.
(2) Data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerjanya dapat digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dimaksud selama jangka waktu Kontrak Kerja Sama.
(3) Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan seluruh data yang
diperoleh selama masa Kontrak Kerja Sama kepada Menteri melalui Badan Pelaksana.
(4) Kerahasiaan data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerja berlaku selama jangka waktu yang ditentukan.
(5) Pemerintah mengatur, mengelola, dan memanfaatkan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) untuk merencanakan penyiapan pembukaan Wilayah Kerja.
(6) Pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja wajib mendapatkan persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas Bumi, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib melakukan optimasi dan melaksanakannya sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V KEGIATAN USAHA HILIR
Pasal 23
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.
(2) Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas :
a. Izin Usaha Pengolahan;
b. Izin Usaha Pengangkutan;
c. Izin Usaha Penyimpanan;
d. Izin Usaha Niaga.
(3) Setiap Badan Usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
(1) Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 paling sedikit memuat :
a. nama penyelenggara;
b. jenis usaha yang diberikan;
c. kewajiban dalam penyelenggaraan pengusahaan;
d. syarat-syarat teknis.
(2) Setiap Izin Usaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 25
(1) Pemerintah dapat menyampaikan teguran tertulis, menangguhkan kegiatan, membekukan kegiatan, atau mencabut Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berdasarkan :
a. pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam Izin Usaha;
b. pengulangan pelanggaran atas persyaratan Izin Usaha;
c. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu tertentu kepada Badan Usaha untuk meniadakan pelanggaran yang telah dilakukan atau pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 26
Terhadap kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi yang dilakukan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak diperlukan Izin Usaha tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Pasal 27
(1) Menteri menetapkan rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional.
(2) Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya dapat diberikan ruas Pengangkutan tertentu.
(3) Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya dapat diberikan wilayah Niaga tertentu.
Pasal 28
(1) Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
Pasal 29
(1) Pada wilayah yang mengalami kelangkaan Bahan Bakar Minyak dan pada daerah-daerah terpencil, fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan termasuk fasilitas penunjangnya, dapat dimanfaatkan bersama pihak lain.
(2) Pelaksanaan pemanfaatan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Badan Pengatur dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis.
Pasal 30
Ketentuan mengenai usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI PENERIMAAN NEGARA
Pasal 31
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Penerimaan negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :
a. pajak-pajak;
b. bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c. pajak daerah dan retribusi daerah.
(3) Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :
a. bagian negara;
b. pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c. bonus-bonus.
(4) Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan :
a. ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani; atau
b. ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penetapan besarnya bagian negara, pungutan negara, dan bonus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), serta tata cara penyetorannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(6) Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan penerimaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang pembagiannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 32
Badan Usaha yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib membayar pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak daerah
dan retribusi daerah, serta kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII HUBUNGAN KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN HAK ATAS TANAH
Pasal 33
(1) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia.
(2) Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(3) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada :
a. tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat;
b. lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di sekitarnya;
c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara;
d. bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
(4) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bermaksud melaksanakan kegiatannya dapat memindahkan bangunan, tempat umum, sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari instansi Pemerintah yang berwenang.
Pasal 34
(1) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau
bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara.
Pasal 35
Pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk melaksanakan Eksplorasi dan Eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan, apabila :
a. sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan Kontrak Kerja Sama atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan;
b. dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 36
(1) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap telah diberikan Wilayah Kerja, maka terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut.
(2) Dalam hal pemberian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi areal yang luas di atas tanah negara, maka bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi, dapat diberikan kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian penggunaan tanah hak atau tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembinaan
Pasal 38
Pembinaan terhadap kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilakukan oleh Pemerintah.
Pasal 39
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 meliputi :
a. penyelenggaraan urusan Pemerintah di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
b. penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi yang dimiliki, kemampuan produksi, kebutuhan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional, dan kebijakan pembangunan.
(2) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara cermat, transparan, dan adil terhadap pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 40
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan yang baik.
(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(3) Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.
(4) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing.
(5) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat .
(6) Ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 41
(1) Tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang terkait.
(2) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(3) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan Izin Usaha dilaksanakan oleh Badan Pengatur.
Pasal 42
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi :
a. konservasi sumber daya dan cadangan Minyak dan Gas Bumi;
b. pengelolaan data Minyak dan Gas Bumi;
c. penerapan kaidah keteknikan yang baik;
d. jenis dan mutu hasil olahan Minyak dan Gas Bumi;
e. alokasi dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan bahan baku;
f. keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
i. penggunaan tenaga kerja asing;
j. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
k. pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat;
l. l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Minyak dan Gas Bumi;
m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sepanjang menyangkut kepentingan umum.
Pasal 43
Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, dan Pasal 42 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX BADAN PELAKSANA DAN BADAN PENGATUR
Pasal 44
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Pasal 45
(1) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum milik negara.
(2) Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif.
(3) Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 46
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri.
(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai :
a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak;
b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;
d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil;
f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
(4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup juga tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 47
(1) Struktur Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas komite dan bidang.
(2) Komite sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 8 (delapan) orang anggota, yang berasal dari tenaga profesional.
(3) Ketua dan anggota Komite Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) bertanggung jawab kepada Presiden.
(5) Pembentukan Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 48
(1) Anggaran biaya operasional Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 didasarkan pada imbalan (fee) dari
Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Anggaran biaya operasional Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan iuran dari Badan Usaha yang diaturnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 49
Ketentuan mengenai struktur organisasi, status, fungsi, tugas, personalia, wewenang dan tanggung jawab serta mekanisme kerja Badan Pelaksana dan Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X PENYIDIKAN
Pasal 50
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
c. Minyak dan Gas Bumi;
d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.
(5) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI KETENTUAN PIDANA
Pasal 51
(1) Setiap orang yang melakukan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) tanpa hak dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang mengirim atau menyerahkan atau memindahtangankan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tanpa hak dalam bentuk apa pun dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 52
Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Pasal 53
Setiap orang yang melakukan :
a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
b. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);
c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
Pasal 54
Setiap orang yang meniru atau memalsukan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dan hasil olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Pasal 55
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Pasal 56
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tuntutan dan pidana dikenakan terhadap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan/atau pengurusnya.
(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana yang dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.
Pasal 57
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 adalah pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 adalah kejahatan.
Pasal 58
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, sebagai pidana tambahan adalah pencabutan hak atau
perampasan barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Pada saat Undang-undang ini berlaku :
a. dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan Pelaksana;
b. dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan Pengatur.
Pasal 60
Pada saat Undang-undang ini berlaku :
a. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah;
b. selama Persero sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk, Pertamina yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) wajib melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta mengatur dan mengelola kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya yang diperlukan;
c. saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban Pertamina sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dialihkan kepada Persero yang bersangkutan.
Pasal 61
Pada saat Undang-undang ini berlaku :
a. Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan pengusahaan kontraktor Eksplorasi dan Eksploitasi termasuk Kontraktor Kontrak Bagi Hasil sampai terbentuknya Badan Pelaksana;
b. pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eksplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga.
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku Pertamina tetap melaksanakan tugas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak untuk keperluan dalam negeri sampai jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 63
Pada saat Undang-undang ini berlaku :
a. dengan terbentuknya Badan Pelaksana, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana;
b. dengan terbentuknya Badan Pelaksana, kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana;
c. semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan;
d. hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian atau perikatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tetap dilaksanakan oleh Pertamina sampai dengan terbentuknya Persero yang didirikan untuk itu dan beralih kepada Persero tersebut;
e. pelaksanaan perundingan atau negosiasi antara Pertamina dan pihak lain dalam rangka kerja sama Eksplorasi dan Eksploitasi beralih pelaksanaannya kepada Menteri.
Pasal 64
Pada saat Undang-undang ini berlaku :
a. badan usaha milik negara, selain Pertamina, yang mempunyai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dianggap telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
b. pelaksanaan pembangunan yang pada saat Undang-undang ini berlaku sedang dilakukan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap dilaksanakan oleh badan usaha milik negara yang bersangkutan;
c. dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib membentuk Badan Usaha yang didirikan untuk kegiatan usahanya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini;
d. kontrak atau perjanjian antara badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a dan pihak lain
tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu kontrak atau perjanjian yang bersangkutan.
BAB XIII KETENTUAN LAIN
Pasal 65
Kegiatan usaha atas minyak atau gas selain yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 sepanjang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang lain, diberlakukan ketentuan Undang-undang ini.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku :
a. Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070);
b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2505);
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) berikut segala perubahannya, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 3045).
(2) Segala peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 67
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakartapada tanggal 23 Nopember 2001
PRESIDENREPUBLIKINDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 136
<< Penjelasan >>

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas
sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal
pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan
secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber
daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan
di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara
lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis
tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta
melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
c. bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan
yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di
sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
saksama;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
d. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam,
menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan
Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan seksama serta bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika
karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang
sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat,
bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan
modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung
oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi
muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan
kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan
memberantas tindak pidana tersebut
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun
1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3085);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic
in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3673);
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini.
2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau
bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan
Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.
3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan,
mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara
langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi
dari sumber alami atau sintetis kimia atau
gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah
bentuk Narkotika.
4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan
Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk
mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
8. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk
mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
9. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke
tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa
pun.
10. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk
badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan
kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran
sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
11. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan
produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
Narkotika.
12. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari
suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di
wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor
pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
13. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun
psikis.
14. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai
oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara
terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba,
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
15. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan
Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
16. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu
dari ketergantungan Narkotika.
17. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun
sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
18. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk
melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta
melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi,
memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi
kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu
tindak pidana Narkotika.
19. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap
pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan
komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat
komunikasi elektronik lainnya.
20. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan
oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3
(tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu
tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan
suatu tindak pidana Narkotika.
21. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
BAB II
DASAR, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan
berasaskan:
a. keadilan;
b. pengayoman;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban;
e. perlindungan;
f. keamanan;
g. nilai-nilai ilmiah; dan
h. kepastian hukum.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 4
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa
Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial
bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 5
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi
segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan
dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 6
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
digolongkan ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 8
(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia
diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
BAB IV
PENGADAAN
Bagian Kesatu
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 9
(1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan
tahunan Narkotika.
(3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data
pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi
tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi
pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
Narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 10
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari
impor, produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain
dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 11
(1) Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi
Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi
Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(3) Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan
pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan
hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan
rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin
dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 12
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau
digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah
yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam
produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 13
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga
pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah
ataupun swasta dapat memperoleh, menanam,
menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah
mendapatkan izin Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan Industri
Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat
kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika
yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan
secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan
mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas
rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan berupa:
a. teguran;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
BAB V
IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Kesatu
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor
Pasal 15
(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki
izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan impor
Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin
kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan impor
Narkotika.
Pasal 16
(1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor
Narkotika.
(2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap
rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau
penggunaan Narkotika.
(3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam
jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara
pengekspor.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 17
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan
pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut
dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Bagian Kedua
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 18
(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki
izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor
Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin
kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor
Narkotika.
Pasal 19
(1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor
Narkotika.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus
melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 20
Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar
persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan
tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor.
Pasal 21
Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya
dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk
perdagangan luar negeri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan
Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengangkutan
Pasal 23
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan
Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini
atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang
ini.
Pasal 24
(1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi
dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika
yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di negara pengekspor dan Surat Persetujuan
Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi
dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang
dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat
persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor.
Pasal 25
Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang
memasuki wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa
dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan
Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat
persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengekspor.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 26
(1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas
perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan
pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat
Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen
atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib
membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat
Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen
atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
negara pengimpor.
Pasal 27
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada
kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di
tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh
nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika
yang diangkut.
(3) Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib
melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya
kepada kepala kantor pabean setempat.
(4) Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam
kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan
oleh pejabat bea dan cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa
dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat
Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita
acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada
persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan
menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang
berwenang.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 28
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula
bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Keempat
Transito
Pasal 29
(1) Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen
atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah
negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor
dan pengimpor.
(2) Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor
Narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor Narkotika.
Pasal 30
Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada
Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya
persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor Narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.
Pasal 31
Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya
dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang
mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung
jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Kelima
Pemeriksaan
Pasal 33
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan
dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.
Pasal 34
(1) Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang
diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya
impor Narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor
Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB VI
PEREDARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam
rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 36
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan
setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 37
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan
baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk
produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan
dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 39
(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi,
pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus
penyaluran Narkotika dari Menteri.
Pasal 40
(1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu; dan
d. rumah sakit.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat
menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu;
d. rumah sakit; dan
e. lembaga ilmu pengetahuan;
(3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah;
b. pusat kesehatan masyarakat; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 41
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang
besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan
tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan
balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika
kepada pasien berdasarkan resep dokter.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat
dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu
yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 45
(1) Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada
kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun
bahan baku Narkotika.
(2) Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi
tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan
pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan,
ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah,
dan/atau kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada
kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak
menyesatkan.
Pasal 46
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah
kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
PREKURSOR NARKOTIKA
Bagian Kesatu
Tujuan Pengaturan
Pasal 48
Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor
Narkotika; dan
c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan
Prekursor Narkotika.
Bagian Kedua
Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika
Pasal 49
(1) Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor
Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
(2) Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang
ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan
menteri terkait.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Ketiga
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 50
(1) Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan
Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri farmasi,
industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan,
perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor
Narkotika secara nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait.
Bagian Keempat
Pengadaan
Pasal 51
(1) Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui
produksi dan impor.
(2) Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan
industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 52
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor,
ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta
pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB IX
PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Pengobatan
Pasal 53
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi
medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II
atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan
tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika
untuk dirinya sendiri.
(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang
dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan
diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum
cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib
melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah
sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan
rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat
persetujuan Menteri.
Pasal 57
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis,
penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh
instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan
keagamaan dan tradisional.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan
baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 60
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala
kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
upaya:
a. memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. mencegah penyalahgunaan Narkotika;
c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah
dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan
memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan
Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai
lanjutan atas;
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan; dan
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis
bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 61
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala
kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk
melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk
sebelum diedarkan;
d. produksi;
e. impor dan ekspor;
f. peredaran;
g. pelabelan;
h. informasi; dan
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 63
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain
dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral,
baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan
dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai
dengan kepentingan nasional.
BAB XI
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
Bagian Kesatu
Kedudukan dan Tempat Kedudukan
Pasal 64
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk
Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat
BNN.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan
di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 65
(1) BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah
kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN
kabupaten/kota berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota.
Pasal 66
BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 67
(1) BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh
seorang sekretaris utama dan beberapa deputi.
(2) Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi
urusan:
a. bidang pencegahan;
b. bidang pemberantasan;
c. bidang rehabilitasi;
d. bidang hukum dan kerja sama; dan
e. bidang pemberdayaan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan
tata kerja BNN diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 68
(1) Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 69
Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon
harus memenuhi syarat:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah paling rendah strata 1 (satu);
e. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam
penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam
pemberantasan Narkotika;
f. berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan
memiliki reputasi yang baik;
h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
i. tidak menjadi pengurus partai politik; dan
j. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan
lain selama menjabat kepala BNN.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Ketiga
Tugas dan Wewenang
Pasal 70
BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik
regional maupun internasional, guna mencegah dan
memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan
terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas
dan wewenang.
Pasal 71
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN
berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 72
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Kepala BNN.
BAB XII
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 73
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 74
(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang
didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke
pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan
tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding,
tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana
mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus
dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 75
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN
berwenang:
a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
c. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai
saksi;
d. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
e. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti
tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
g. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
h. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi
nasional;
i. melakukan penyadapan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang
cukup;
j. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan
penyerahan di bawah pengawasan;
k. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
l. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam
dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh
lainnya;
m. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
n. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang,
dan tanaman;
o. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui
pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga
mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
p. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang disita;
q. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang
bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
r. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
s. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti
adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 76
(1) Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat
penangkapan diterima penyidik.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam.
Pasal 77
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf
i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang
cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak surat penyadapan diterima penyidik.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
(1) Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan
penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin
tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
(2) Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada
ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 79
Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di
bawah pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari
pimpinan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 80
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga
berwenang:
a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan
barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada
jaksa penuntut umum;
b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga
keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga
dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain
yang terkait;
c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka
yang sedang diperiksa;
d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang
untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka
kepada instansi terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk melakukan pencarian,
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Pasal 81
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik
BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 82
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor
Narkotika berwenang:
a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan
tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
h. menangkap orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 83
Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 84
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara
tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu
pula sebaliknya.
Pasal 85
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri
sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 86
(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun
yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi
yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang
yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 87
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan
Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika
dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan
membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan
dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal,
bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang
melakukan penyitaan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada
kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling
lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak
dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan
kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 88
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan
penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika
wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan
barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada
penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan
tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
(2) Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit
terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.
Pasal 89
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan
Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan
pengamanan barang sitaan yang berada di bawah
penguasaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 90
(1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik
pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang
sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk dijadikan
sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan
dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali
dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium
tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 91
(1) Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima
pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang
sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk
kepentingan pembuktian perkara, kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
dimusnahkan.
(2) Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik
yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib
dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari
kepala kejaksaan negeri setempat.
(3) Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam
waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan
berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan
tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
(4) Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(5) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75
huruf k.
(6) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan
untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan
kepada Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam waktu paling lama 5 (lima) hari
terhitung sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan
negeri setempat.
(7) Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai
penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan
dan pelatihan.
Pasal 92
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika
yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali
dua puluh empat) jam sejak saat ditemukan, setelah
disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat
disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan
pendidikan dan pelatihan.
(2) Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan
daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau
transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari.
(3) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan,
dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
tanaman Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan
pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan
pemusnahan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(4) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimpan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian.
(5) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimpan oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan
Makanan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(6) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimpan oleh BNN untuk kepentingan pendidikan dan
pelatihan.
Pasal 93
Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
90, Pasal 91, dan Pasal 92 sebagian kecil Narkotika atau
tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain
yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika
tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan
asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan
peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau
berdasarkan asas timbal balik.
Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 95
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan
barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91.
Pasal 96
(1) Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang
sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal
91 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik
barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh
Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Besaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh pengadilan.
Pasal 97
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda
istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang
diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
dilakukan tersangka atau terdakwa.
Pasal 98
Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa
seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak,
dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan
terdakwa.
Pasal 99
(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan,
dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal
yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
(2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan
orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 100
(1) Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang
memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan
oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun
sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan
oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 101
(1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang
digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas
untuk negara.
(2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang
beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan
terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang
bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang
merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan
untuk kepentingan:
a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika; dan
b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan
harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 102
Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101
dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan
perjanjian antarnegara.
Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti
bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi
Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 104
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk berperan serta membantu pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 105
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 106
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang
bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir
dalam proses peradilan.
Pasal 107
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang
atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 108
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam
suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Kepala BNN.
BAB XIV
PENGHARGAAN
Pasal 109
Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum
dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan,
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 110
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
109 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 112
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 113
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 114
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 115
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 116
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 117
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 118
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 120
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 122
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 123
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 124
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 125
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 126
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan
Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup
umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
(3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani
rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di
rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
(4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 129
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang
yang tanpa hak atau melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Pasal 130
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 131
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal
112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117,
Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal
128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 132
(1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal
113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal
118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129,
pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal-Pasal tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal
116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal
126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana
penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3
(sepertiga).
(3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara 20 (dua puluh) tahun.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 133
(1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,
atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,
atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 134
(1) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan
sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan
Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 135
Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 136
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang
diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana
Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana
Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.
Pasal 137
Setiap orang yang:
a. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan,
menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau
menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan,
menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang,
harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan,
penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran
investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta
atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 138
Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit
penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika
di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 139
Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 140
(1) Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal
90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 141
Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 142
Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau
secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban
melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut
umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 144
(1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal
119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal
124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128
ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah
dengan 1/3 (sepertiga).
(2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak
pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 145
Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal
120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129
di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga
ketentuan Undang-Undang ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 146
(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran
keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke
wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pasal 147
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik
pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika
Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,
membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan;
c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi
Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan
Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan
Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 148
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak
pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika,
pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 149
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan
Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan
Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN
provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang-
Undang ini;
b. Kepala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali
ditetapkan sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang-
Undang ini;
c. Pejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika
Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN
berdasarkan Undang-Undang ini;
d. dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-
Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata
kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007
harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini;
e. dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata
kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83
Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-
Undang ini.
Pasal 150
Program dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2007 yang telah dilaksanakan tetapi belum selesai, masih tetap
dapat dijalankan sampai dengan selesainya program dan
kegiatan dimaksud termasuk dukungan anggarannya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 151
Seluruh aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007, baik
yang berada di BNN provinsi, maupun di BNN kabupaten/kota
dinyatakan sebagai aset BNN berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 152
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini
diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 153
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3698); dan
b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan
Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan
I menurut Undang-Undang ini,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 154
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan.
Pasal 155
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 143
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA
I. UMUM
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan
diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika
disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar
pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi
perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan
lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi
kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan
dapat melemahkan ketahanan nasional.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk
melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur
upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui
ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan
pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan
pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis
dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di
dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban
yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi
muda pada umumnya.
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara
perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang
secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat
yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang
bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu
dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan
yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif
dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja,
dan generasi muda pada umumnya.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika,
dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika
karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau
bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam
Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan
melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.
Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan
efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi
pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20
(dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati.
Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada
golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada
yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika
Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika
Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan
koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan
menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat
kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN
berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi
dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan
BNN kabupaten/kota.
Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh
harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang
dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan
sosial.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya
semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai
perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik
pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang
diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna
melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan
secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas
negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik
bilateral, regional, maupun internasional.
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam
usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota
masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan
tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah
berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Prekursor Narkotika”
hanya untuk industri farmasi.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat
pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”perubahan penggolongan
Narkotika” adalah penyesuaian penggolongan Narkotika
berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan
kepentingan nasional.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk
pelayanan rehabilitasi medis.
Yang dimaksud dengan “pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi” adalah penggunaan Narkotika terutama untuk
kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk
kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan
serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah
yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan,
penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika.
Kepentingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan adalah
termasuk untuk kepentingan melatih anjing pelacak Narkotika
dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bea dan Cukai
dan Badan Narkotika Nasional serta instansi lainnya.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
a. reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I
tersebut secara terbatas dipergunakan untuk
mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan
oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau
bukan.
b. reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I
tersebut secara terbatas dipergunakan untuk
mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau
ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis
Narkotika atau bukan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Narkotika dari sumber lain” adalah
Narkotika yang dikuasai oleh pemerintah yang diperoleh
antara lain dari bantuan atau berdasarkan kerja sama
dengan pemerintah atau lembaga asing dan yang diperoleh
dari hasil penyitaan atau perampasan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
Narkotika yang diperoleh dari sumber lain dipergunakan
terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan, dan teknologi termasuk juga keperluan
pendidikan, pelatihan, dan keterampilan yang dilaksanakan
oleh instansi Pemerintah yang tugas dan fungsinya
melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan
peredaran gelap Narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan
izin kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak
memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat
selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan
Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “produksi”
adalah termasuk pembudidayaan (kultivasi) tanaman yang
mengandung Narkotika.
Yang dimaksud dengan “jumlah yang sangat terbatas”
adalah tidak melebihi kebutuhan yang diperlukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”swasta” adalah lembaga ilmu
pengetahuan yang secara khusus atau yang salah satu
fungsinya melakukan kegiatan percobaan penelitian dan
pengembangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “balai pengobatan” adalah balai
pengobatan yang dipimpin oleh dokter.
Ayat (2)
Ketentuan ini memberi kewajiban bagi dokter yang
melakukan praktek pribadi untuk membuat laporan yang di
dalamnya memuat catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan Narkotika yang sudah melekat pada
rekam medis dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa
simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
Dokter yang melakukan praktek pada sarana kesehatan
yang memberikan pelayanan medis, wajib membuat laporan
mengenai kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika,
dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep
selama 3 (tiga) tahun.
Catatan mengenai Narkotika di badan usaha sebagaimana
diatur pada ayat ini disimpan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dokumen pelaporan mengenai Narkotika yang berada di
bawah kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan,
disimpan dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam
waktu 3 (tiga) tahun.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan,
dan menyampaikan laporan adalah agar Pemerintah setiap
waktu dapat mengetahui tentang persediaan Narkotika yang
ada di dalam peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam
penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pelanggaran” termasuk juga segala
bentuk penyimpangan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Yang dimaksud dengan “pencabutan izin” adalah izin
yang berkaitan dengan kewenangan untuk mengelola
Narkotika.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” dalam
ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi
milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya
dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam,
kebakaran dan lain-lain.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kawasan pabean
tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri” adalah
kawasan di pelabuhan laut dan pelabuhan udara internasional
tertentu yang ditetapkan sebagai pintu impor dan ekspor
Narkotika agar lalu lintas Narkotika mudah diawasi.
Pelaksanaan impor atau ekspor Narkotika tetap tunduk pada
Undang-Undang tentang Kepabeanan dan/atau peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ketentuan ini berintikan jaminan bahwa masuknya Narkotika baik
melalui laut maupun udara wajib ditempuh prosedur kepabeanan
yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu lintas Narkotika di
Wilayah Negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan “penanggung jawab pengangkut” adalah
kapten penerbang atau nakhoda.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”kemasan khusus atau di tempat
yang aman” dalam ketentuan ini adalah kemasan yang
berbeda dengan kemasan lainnya yang ditempatkan pada
tempat tersendiri yang disediakan secara khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan mengenai batas waktu dalam menyampaikan
laporan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum
dan memperketat pengawasan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. .
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jenis”
adalah sediaan bentuk garam atau basa.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “bentuk”
adalah sediaan dalam bentuk bahan baku atau obat
jadi seperti tanaman, serbuk, tablet, suntikan, kapsul,
cairan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jumlah”
adalah angka yang menunjukkan banyaknya
Narkotika yang terdiri dari jumlah satuan berat dalam
kilogram, isi dalam milliliter.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 30
Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya dalam transito
Narkotika dilarang mengubah arah negara tujuan. Namun, apabila
dalam keadaan tertentu misalnya terjadi keadaan memaksa (force
majeur) sehingga harus dilakukan perubahan negara tujuan,
maka perubahan tersebut harus memenuhi syarat yang
ditentukan dalam ketentuan ini.
Selama menunggu pemenuhan persyaratan yang diperlukan,
Narkotika tetap disimpan di kawasan pabean, dan tanggung jawab
pengawasannya berada di bawah Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 31
Ketentuan ini menegaskan bahwa dilibatkannya Petugas Badan
Pengawas Obat dan Makanan dalam pengemasan kembali
Narkotika pada Transito Narkotika adalah sesuai dengan tugas
dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 34
Ketentuan ini menegaskan bahwa batas waktu 3 (tiga) hari kerja
dibuktikan dengan stempel pos tercatat, atau tanda terima jika
laporan diserahkan secara langsung. Dengan adanya pembatasan
waktu kewajiban menyampaikan laporan, maka importir harus
segera memeriksa jenis, mutu, dan jumlah atau bobot Narkotika
yang diterimanya sesuai dengan Surat Persetujuan Impor yang
dimiliki.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “wajib dilengkapi
dengan dokumen yang sah” adalah bahwa setiap peredaran
Narkotika termasuk pemindahan Narkotika ke luar kawasan
pabean ke gudang importir, wajib disertai dengan dokumen yang
dibuat oleh importir, eksportir, industri farmasi, pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, atau apotek.
Dokumen tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor,
faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau
salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Narkotika bersangkutan.
Pasal 39
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “industri
farmasi, dan pedagang besar farmasi” adalah industri
farmasi, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah
memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika.
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa Izin khusus penyaluran
Narkotika bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan
pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut
tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu”
adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi dan
alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah, TNI dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Usaha
Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam
rangka pelayanan kesehatan.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”rumah
sakit” adalah rumah sakit yang telah memiliki
instalasi farmasi memperoleh Narkotika dari industri
farmasi tertentu atau pedagang besar farmasi
tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini menegaskan bahwa rumah sakit yang
belum mempunyai instalasi farmasi hanya dapat
memperoleh Narkotika dari apotek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (4)
Huruf a
Ketentuan ini menegaskan bahwa pemberian
kewenangan penyimpanan dan penyerahan Narkotika
dalam bentuk suntik dan tablet untuk pemakaian oral
(khususnya tablet morphin) salah satu tujuannya
adalah untuk memudahkan dokter memberikan tablet
Narkotika tersebut kepada pasien yang mengidap
penyakit kanker stadium yang tidak dapat
disembuhkan dan hanya morphin satu-satunya obat
yang dapat menghilangkan rasa sakit yang tidak
terhingga dari penderita kanker tersebut.
Huruf b
Lihat penjelasan huruf a.
Huruf c
Ketentuan ini menegaskan bahwa penyerahan
Narkotika oleh dokter yang menjalankan tugas di
daerah terpencil yang tidak ada apotek memerlukan
surat izin penyimpanan Narkotika dari Menteri
Kesehatan atau pejabat yang diberi wewenang. Izin
tersebut melekat pada surat keputusan penempatan
di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan hanya untuk Narkotika
Golongan II dan Golongan III.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa pencantuman label
dimaksudkan untuk memudahkan pengenalan sehingga
memudahkan pula dalam pengendalian dan
pengawasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “label” adalah
label khusus yang diperuntukan bagi Narkotika yang
berbeda dari label untuk obat lainnya.
Pasal 46
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dipublikasikan”
adalah yang mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk
Narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku
Narkotika, di kalangan terbatas kedokteran dan farmasi.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai bahaya
penyalahgunaan Narkotika, tidak termasuk kriteria publikasi.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”menteri terkait” antara lain menteri
yang membidangi urusan perindustrian dan menteri yang
membidangi urusan perdagangan.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”bukti yang sah” antara lain surat
keterangan dokter, salinan resep, atau label/etiket.
Pasal 54
Yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika”
adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika
karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam
untuk menggunakan Narkotika.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 55
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu
Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya
penyalahgunaan Narkotika, khususnya untuk pecandu
Narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali,
masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab
pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
Yang dimaksud dengan “belum cukup umur” dalam
ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi Pecandu
Narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan
dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan
sosial penderita yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” misalnya
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah
Daerah.
Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis
bagi Pecandu Narkotika pengguna jarum suntik dapat
diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan
antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik
dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk melalui
pendekatan keagamaan, tradisional, dan pendekatan alternatif
lainnya.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “mantan Pecandu
Narkotika” adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan
terhadap Narkotika secara fisik dan psikis.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “lembaga rehabilitasi
sosial” adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan
baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini tidak mengurangi upaya pencegahan
melalui kegiatan ekstrakurikuler pada perguruan
tinggi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kemampuan lembaga” dalam
ketentuan ini misalnya memberikan penguatan,
dorongan, atau fasilitasi agar lembaga rehabilitasi
medis terjaga keberlangsungannya.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ketentuan ini menegaskan bahwa kerja sama internasional
meliputi juga kerja sama dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan kejahatan Narkotika transnasional yang
terorganisasi.
Pasal 64
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa dengan dibentuknya
Badan Narkotika Nasional yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden yang mempunyai tugas dan fungsi
koordinasi dan operasional dalam pengelolaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika, pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, diharapkan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dapat
dicegah dan diberantas sampai ke akar-akarnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud “berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia” dalam ketentuan ini adalah
tidak mengurangi kemandirian dalam menentukan
kebijakan dan melaksanakan tugas dan wewenang BNN.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 74
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa jika terdapat perkara lain
yang oleh undang-undang juga ditentukan untuk
didahulukan, maka penentuan prioritas diserahkan kepada
pengadilan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyelesaian
secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan
putusan, sampai dengan pelaksanaan putusan atau
eksekusi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”interdiksi” adalah mengejar
dan/atau menghentikan seseorang/kelompok orang, kapal,
pesawat terbang, atau kendaraan yang diduga membawa
Narkotika dan Prekursor Narkotika, untuk ditangkap
tersangkanya dan disita barang buktinya.
Huruf i
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyadapan”
adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan
dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN
atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan
kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau
pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi
elektronik lainnya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan
elektronik dengan cara antara lain:
a. pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran
untuk mendengar/merekam semua pembicaraan
(bugging);
b. pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang
yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
c. intersepsi internet;
d. cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
e. CCTV (Close Circuit Television);
f. pelacak lokasi tersangka (direction finder).
Perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk
mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang
digunakan oleh para pelaku tindak pidana Narkotika dan
tindak pidana Prekursor Narkotika dalam mengembangkan
jaringannya baik nasional maupun internasional karena
perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh
pelaku kriminal yang sangat menguntungkan mereka.
Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan/sindikat
Narkotika dan Prekursor Narkotika maka sistem
komunikasi/telekomunikasi mereka harus bisa ditembus
oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan jaringan
tersebut.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Tes urine, tes darah, tes rambut, dan tes bagian tubuh
lainnya dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk membuktikan ada
tidaknya Narkotika di dalam tubuh satu orang atau
beberapa orang, dan tes asam dioksiribonukleat (DNA)
untuk identifikasi korban, pecandu, dan tersangka.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan ”pemindaian” dalam ketentuan ini
adalah scanning baik yang dapat dibawa-bawa (portable)
maupun stationere.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf s
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kementerian atau lembaga
pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor
Narkotika” adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian
Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian tersebut sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing yang dalam
pelaksanaannya tetap memperhatikan fungsi koordinasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “laboratorium
tertentu” adalah laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa tanaman Narkotika yang
dimaksud pada ayat ini tidak hanya yang ditemukan di
ladang juga yang ditemukan di tempat-tempat lain atau
tempat tertentu yang ditanami Narkotika, termasuk
tanaman Narkotika dalam bentuk lainnya yang ditemukan
dalam waktu bersamaan ditempat tersebut.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sebagian kecil”
adalah dalam jumlah yang wajar dari tanaman Narkotika
untuk digunakan sebagai barang bukti dalam penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa jangka waktu 14 (empat
belas) hari dimaksudkan agar penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang bertugas di daerah yang letak
geografisnya dan transportasinya sulit dicapai dapat
melaksanakan tugas pemusnahan Narkotika yang
ditemukan dengan sebaik-baiknya karena pelanggaran
terhadap jangka waktu ini dapat dikenakan pidana.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pejabat
yang menyaksikan pemusnahan” adalah pejabat yang
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
mewakili unsur kejaksaan dan Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
Dalam hal kondisi tempat tanaman Narkotika
ditemukan tidak memungkinkan untuk menghadirkan
unsur pejabat tersebut maka pemusnahan disaksikan
oleh pihak lain yaitu pejabat atau anggota masyarakat
setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk kepentingan identifikasi
jenis, isi dan kadar Narkotika (drugs profiling).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “seluruh harta
kekayaan dan harta benda” adalah seluruh kekayaan yang
dimiliki, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang
berwujud maupun tidak berwujud, yang ada dalam
penguasaannya atau yang ada dalam penguasaan pihak lain (isteri
atau suami, anak dan setiap orang atau badan), yang diperoleh
atau diduga diperoleh dari tindak pidana Narkotika yang
dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Pasal 98
Berdasarkan ketentuan ini Hakim bebas untuk melaksanakan
kewenangannya meminta terdakwa untuk membuktikan bahwa
seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak
dan setiap orang atau badan bukan berasal dari tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 99
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan
mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat
pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau
jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah orang yang
mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah dan garis menyamping sampai derajat kesatu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam menetapkan
Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dirampas untuk
negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses
penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hasilnya”
adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang
diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana
Narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak
pidana pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan
yang tetap, dirampas untuk negara dan dapat digunakan
untuk biaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta untuk pembayaran premi bagi
anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya
tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor
Narkotika. Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk
berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan
atau aset yang disita negara tersebut dapat pula digunakan
untuk membiayai rehabilitasi medis dan sosial para korban
penyalahguna Narkotika dan Prekursor Narkotika. Proses
penyidikan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak
pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata
memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti
bersalah melakukan tindak pidana Narkotika
mengandung pengertian bahwa putusan hakim
tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu
Narkotika yang bersangkutan.
Huruf b
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata
menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika
mengandung pengertian bahwa penetapan hakim
tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi
Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan
tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu
penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut
walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak
pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani
pengobatan dan perawatan.
Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu
Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak
pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan
tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau
perawatan tersebut merupakan bagian dari masa
menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu
Narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya
pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status
tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan
rumah dan tahanan kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 109
Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam pemberian penghargaan
harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan
terhadap yang diberi penghargaan. Penghargaan diberikan dalam
bentuk piagam, tanda jasa, premi, dan/atau bentuk penghargaan
lainnya.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “cacat permanen” dalam ketentuan
ini adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang bersifat
tetap atau tidak dapat dipulihkan/disembuhkan.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”percobaan” adalah adanya unsurunsur
niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 5062
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya,
kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver
Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan
tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :
a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya
dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,
dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur
dengan daun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk
buah dan bijinya.
5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman
genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau
melalui perubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung
untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk
biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan
hasis.
9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.
12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.
13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida
15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.
17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
19. Heroina : Diacetilmorfina
20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina
21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
27. BROLAMFETAMINA, nama lain : (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
DOB
28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol
29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6Hdibenzo[
b, d]piran-1-ol
31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol
32. DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina
33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina
34. ETRIPTAMINA. : 3-(2aminobutil) indole
35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
36. ( + )-LISERGIDA, nama lain : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β –
LSD, LSD-25 karboksamida
37. MDMA : (±)-N, α -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
38. Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
40. 4- metilaminoreks : (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
41. MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
42. N-etil MDA : (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[ α -metil-3,4-
(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
44. Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo
[b,d] piran-1-ol
45. PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina
46. psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
48. ROLISIKLIDINA, nama lain : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina
PHP,PCPY
49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina
50. TENAMFETAMINA, nama lain : α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
MDA
51. TENOSIKLIDINA, nama lain : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina
TCP
52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina
53. AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina
54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina
55. FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina
56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
58. LEVAMFETAMINA, nama lain : (- )-(R)- α -metilfenetilamina
levamfetamina
59. Levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina
60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina
62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
63. ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1-
piperazinetano
64. Opium Obat
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II
1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]-
4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida
6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-
karboksilat etil ester
8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-
benzimidazolinil)-piperidina
16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]-
morfolina
17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik
21. Dihidromorfina
22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol
32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester)
33. Hidrokodona : dihidrokodeinona
34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil
ester
35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
36. Hidromorfona : dihidrimorfinona
37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona
38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan
41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
Etil ester
43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina
48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
51. Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
55. Metopon : 5-metildihidromorfinona
56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina
57. Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat
58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan
morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
61. Morfina
62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana
64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil
ester
75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4-
Karbosilat armida
76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
79. Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina
80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil] propionanilida
82. Tebaina
83. Tebakon : asetildihidrokodeinona
84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-
karboksilat
85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionat
3. Dihidrokodeina
4. Etilmorfina : 3-etil morfina
5. Kodeina : 3-metil morfina
6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina : N-demetilkodeina
9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida
11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-
6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDOYONO
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN II
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA
GOLONGAN DAN JENIS PREKURSOR
TABEL I
1. Acetic Anhydride.
2. N-Acetylanthranilic Acid.
3. Ephedrine.
4. Ergometrine.
5. Ergotamine.
6. Isosafrole.
7. Lysergic Acid.
8. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone.
9. Norephedrine.
10. 1-Phenyl-2-Propanone.
11. Piperonal.
12. Potassium Permanganat.
13. Pseudoephedrine.
14. Safrole.
TABEL II
1. Acetone.
2. Anthranilic Acid.
3. Ethyl Ether.
4. Hydrochloric Acid.
5. Methyl Ethyl Ketone.
6. Phenylacetic Acid.
7. Piperidine.
8. Sulphuric Acid.
9. Toluene.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDOYONO
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA