Jumat, 06 April 2012

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1998
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah
kesuburannya, mencegah terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat
bagi kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa dalam kenyataannya masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum
atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya;
c. bahwa sesuai ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan;
d. bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal Di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas
Tanah (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3643);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
2. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan
kepada pemegangnya.
3. Pemegang hak atas tanah adalah pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
4. Pemegang Hak Pengelolaan adalah Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau badan lain yang diberi
pelimpahan kewenangan pelaksanaan sebagian hak menguasai dari Negara atas tanah Negara dengan pemberian
Hak Pengelolaan.
5. Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan
atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan.
7. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.
8. Kantor Pertanahan adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
BAB II
RUANG LINGKUP TANAH TERLANTAR
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur tanah terlantar yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi
belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
KRITERIA TANAH TERLANTAR
Bagian Kesatu
Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
Pasal 3
Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar
apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.
Pasal 4
Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa
bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan
peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau
pembangunan fisik di atas tanah tersebut.
Pasal 5
(1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan
tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria
terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Pasal 6
(1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah
dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya
sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Bagian Kedua
Tanah Hak Pengelolaan
Pasal 7
(1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila kewenangan hak menguasai dari
Negara atas tanah tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian
pelimpahan kewenangan tersebut.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi
kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Bagian Ketiga
Tanah Yang Belum Dimohon Haknya
Pasal 8
(1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak
yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
BAB IV
TATA CARA PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN
TANAH TERLANTAR
Pasal 9
(1) Identifikasi adanya tanah yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar dilakukan oleh Kantor Pertanahan baik
secara kedinasan maupun berdasarkan perintah dari Menteri atau Kepala Kantor Wilayah atau laporan dari
Instansi Pemerintah lain atau dari masyarakat.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. nama dan alamat orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atau telah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah yang bersangkutan;
b. letak, luas, status hak dan keadaan fisik tanah yang bersangkutan;
c. keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8.
(3) Dalam rangka identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang dan badan hukum yang menguasai
tanah dan/atau mempunyai hubungan hukum serta kepentingan dengan tanah yang bersangkutan wajib memberi
keterangan yang diminta oleh satuan tugas yang melaksanakan identifikasi.
(4) Dalam melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhatikan jangka waktu yang wajar setelah
diperoleh Hak Atas Tanah atau dasar penguasaan atas tanah yang bersangkutan.
(5) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
Untuk keperluan melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang menyangkut :
a. tanah Hak Guna Usaha;
b. tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah
dalam rangka pengembangannya;
c. tanah Hak Pengelolaan; atau
d. tanah yang diperoleh dasar penguasaannya oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan izin lokasi;
Menteri membentuk Panitia Penilai yang diketuai oleh Kepala Kantor Pertanahan dan beranggotakan wakil dari
instansi-instansi yang terkait dengan penggunaan tanah yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Laporan mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah
dengan disertai usul mengenai tindakan yang perlu dilakukan terhadap tanah tersebut.
(2) Dalam hal menurut hasil identifikasi, ternyata tanah yang bersangkutan dipunyai oleh pemegang hak orang
perseorangan tidak dapat menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya karena tidak mampu dari segi ekonomi, Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan agar kepada
yang bersangkutan dilakukan pembinaan dalam rangka pendayagunaan tanahnya.
(3) Dalam hal menurut hasil identifikasi ternyata :
a. tanah yang bersangkutan dipunyai, dikuasai atau diperoleh dasar penguasaannya oleh suatu badan hukum
yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian
haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, atau tidak mengambil langkah-langkah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 atau Pasal 8;
b. tanah yang bersangkutan dipunyai atau diperoleh dasar penguasaannya oleh orang perseorangan yang
tidak menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau
tidak memeliharanya dengan baik, atau telah tidak mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 atau Pasal 8 bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi,maka Kepala Kantor Pertanahan
mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah agar kepada pemegang hak atau pihak yang memperoleh tanah
tersebut diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau
menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 atau Pasal 8.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku apabila tidak digunakannya tanah
tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau tidak dipeliharanya tanah
tersebut dengan baik, atau tidak diambilnya langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8
tersebut disebabkan karena dihalangi oleh pihak lain.
Pasal 12
(1) Dalam hal menurut penilaian Kepala Kantor Wilayah hasil temuan serta kesimpulan identifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) benar, Kepala Kantor Wilayah memberitahukannya kepada pemegang hak atas
tanah dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II serta instansi yang berwenang di bidang pendayagunaan tanah yang
bersangkutan menurut peruntukan tanah yang bersangkutan.
(2) Pendayagunaan tanah yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh pemegang hak dengan bimbingan instansi teknis yang berwenang di bidang penggunaan
tanah tersebut menurut peruntukannya dengan koordinasi Pemerintah Daerah Tingkat II.
(3) Pendayagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui program kegiatan
instansi/dinas yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah tersebut.
Pasal 13
(1) Dalam hal menurut penilaian Kepala Kantor Wilayah hasil temuan serta kesimpulan identifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dapat diterima, maka Kepala Kantor Wilayah mengeluarkan peringatan tertulis
kepada pemegang hak atas tanah atau pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang sudah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah tersebut agar dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya peringatan tersebut
yang bersangkutan telah mulai menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya atau memeliharanya dengan baik, atau mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 atau Pasal 8.
(2) Apabila dalam waktu yang ditentukan di dalam peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata pihakpihak
yang bersangkutan belum mengambil langkah-langkah sebagaimana mestinya, Kepala Kantor Wilayah
mengeluarkan peringatan kedua yang memberi jangka waktu yang sama seperti peringatan pertama kepada pihak
yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam waktu yang ditentukan di dalam peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ternyata pihakpihak
yang bersangkutan belum mengambil langkah-langkah sebagaimana mestinya, Kepala Kantor Wilayah
mengeluarkan peringatan ketiga yang memberi jangka waktu yang sama seperti peringatan kedua kepada pihak
yang bersangkutan.
(4) Apabila dalam waktu yang ditentukan di dalam peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata pihakpihak
yang bersangkutan belum mengambil langkah-langkah sebagaimana mestinya, Kepala Kantor Wilayah
melaporkan hal tersebut kepada Menteri disertai usul untuk menyatakan tanah yang bersangkutan sebagai tanah
terlantar.
Pasal 14
(1) Menteri menetapkan tanah yang pemegang haknya atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan hak atas
tanah tidak mengambil langkah yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam peringatan ketiga termaksud dalam
pasal 13 ayat (3) sebagai tanah terlantar.
(2) Sebelum mengeluarkan penetapan sebidang tanah sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Menteri memberi kesempatan kepada pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas
tanah yang bersangkutan untuk dalam waktu 3 (tiga) bulan mengalihkan hak atas tanah tersebut melalui
pelelangan umum.
BAB V
TINDAKAN TERHADAP TANAH TERLANTAR
Pasal 15
(1) Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
(2) Kepada bekas pemegang hak atau pihak yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian
dinyatakan sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan bukti-bukti
tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memp eroleh hak atau dasar penguasaan atas tanah
tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.
(3) Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut telah
mengeluarkan biaya untuk membuat prasarana fisik atau bangunan di atas tanah yang dinyatakan terlantar, maka
jumlah yang telah dikeluarkan tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada pihak yang oleh Menteri ditetapkan sebagai
pemegang hak yang baru atas tanah tersebut.
BAB VI
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 16
Ketentuan-ketentuan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh
Menteri.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Maret 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Maret 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 51
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1998
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR
UMUM
Salah satu permasalahan pertanahan yang perlu mendapat perhatian adalah masih terdapatnya bidang-bidang tanah
yang keadaannya terlantar. Jika tidak ditangani dengan penuh perhatian, hal ini pada gilirannya akan mengganggu
jalannya pembangunan, mengingat persediaan tanah yang semakin terbatas dan kebutuhan tanah untuk
pembangunan yang semakin meningkat.
Di daerah pedesaan, keberadaan tanah terlantar akan mengganggu kelestarian swasembada di bidang pangan.
Sedangkan di daerah perkotaan, keberadaan tanah terlantar akan menyebabkan tumbuhnya daerah-daerah kumuh,
yang mengurangi estetika perkotaan dan mengurangi efisiensi penggunaan tanah serta dapat menyebabkan masalahmasalah
sosial yang tidak dikehendaki.
Disamping itu keberadaan tanah terlantar, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan akan mengurangi arti
dan peran tanah yang berfungsi sosial.
Adalah menjadi kewajiban masyarakat baik perorangan maupun badan hukum yang mempunyai hubungan hukum
terhadap tanah, untuk senantiasa memelihara, menambah kesuburan serta mencegah kerusakannya, yang bertujuan
untuk sebesar-besar kesejahteraan masyarakat.
Akibat hukum dari diterlantarkannya tanah sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah antara lain :
1. Pasal 15 yang menyatakan bahwa memelihara tanah adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi
yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah;
2. Pasal 27 yang menentukan bahwa Hak Milik hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena diterlantarkan;
3. Pasal 34 yang menyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan;
4. Pasal 40 yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan.
Menurut ketentuan-ketentuan di atas apabila tanah diterlantarkan, maka hak atas tanah itu hapus demi hukum. Dalam
pada itu kriteria yang dapat dijadikan ukuran bahwa sebidang tanah diterlantarkan sehingga menjadi tanah terlantar
belumlah ditentukan secara tegas. Dalam Penjelasan Pasal 27 Undang-undang Pokok Agraria yang sudah disebut di
atas hanya disebutkan bahwa: “Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya”. Tidak adanya kriteria yang jelas mengenai tanah terlantar
menyebabkan ketentuan hukum mengenai tanah terlantar tidak dapat diterapkan dengan baik.
Sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengadakan ketentuan-ketentuan yang menetapkan kriteria yang
lebih jelas mengenai tanah terlantar dan bagaimana melakukan penilaian sehingga ketentuan di dalam Undangundang
Pokok Agraria tersebut di atas dapat diterapkan serta tindakan-tindakan apa yang dapat dikenakan terhadap
tanah itu sehingga dirasakan sebagai sanksi bagi pemegang hak atau pihak yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah itu.
Mengingat sebab-sebab diterlantarkannya tanah bermacam-macam dan tidak selalu dapat dipersalahkan kepada
pemegang hak, sedangkan keadaan dan kemampuan para pemegang hak atau pihak yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah itu juga bermacam-macam, maka pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini memuat hal-hal
sebagai berikut :
1. bahwa untuk pemegang hak yang tidak dapat menggunakan tanahnya sesuai ketentuan yang berlaku karena
tidak mempunyai kemampuan ekonomi (golongan ekonomi lemah) tanahnya tidak akan dinyatakan sebagai tanah
terlantar, melainkan akan dibantu untuk mendayagunakan tanah itu;
2. bahwa untuk ketegasan mengenai kapan sebidang tanah menjadi tanah terlantar, maka diperlukan pernyataan
tertulis dari Menteri atau atas nama Menteri bahwa sebidang tanah telah diterlantarkan;
3. bahwa kepada pemegang hak atau pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah diberikan kesempatan
yang seluas-luasnya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk
menghidarkan tanahnya dinyatakan sebagai tanah terlantar.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Tanah yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak hanya tanah yang telah dilekati sesuatu hak atas tanah
(Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai), tetapi meliputi pula tanah negara yang untuk
melaksanakan sebagian hak menguasai dari negara telah diberikan pelimpahan kepada Instansi, dengan pemberian
Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya oleh orang atau badan hukum tetapi masih
berstatus sebagai tanah negara karena belum diperoleh haknya sesuai ketentuan Pasal 4 jo. Pasal 16 Undang-undang
Pokok Agraria.
Pasal 3
Sebidang tanah hak, baru memenuhi kriteria untuk dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila kepada pemegang
haknya sudah diberikan kesempatan untuk menggunakan tanah sesuai ketentuan melalui peringatan-peringatan yang
diatur dalam Bab IV Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 4
Pasal ini berlaku untuk tanah yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang dalam rangka
pengembangannya (yang bukan Hak Guna Bangunan Induk atau Hak Pakai Induk).
Pasal 5
Ayat (1)
Tanah Hak Guna Usaha harus digunakan untuk usaha pertanian dalam arti luas, yakni untuk usaha pertanian tanaman
pangan, perkebunan, perikanan atau peternakan. Tanah Hak Guna Usaha dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar
apabila pengusahaan tanah tersebut tidak memenuhi kriteria sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Induk yang akan dikembangkan,
misalnya untuk kawasan perumahan oleh perusahaan real estat atau kawasan industri. Pengembangan tersebut
didasarkan pada sebuah rencana pengembangan yang harus ditaati oleh pengembang, dengan ketentuan bahwa
rencana kerja itu dapat disesuaikan dengan keadaan sesuai pertimbangan dan persetujuan instansi yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Tanah Hak Pengelolaan pada dasarnya adalah tanah Negara yang sebagian kewenangan penguasaannya
dilimpahkan kepada pemegangnya, yaitu kewenangan untuk menentukan penggunaannya termasuk menunjuk siapa
yang akan diserahi tanah itu dengan sesuatu hak. Kewenangan ini harus segera dilaksanakan oleh pemegang Hak
Pengelolaan, karena apabila tidak maka tanah itu tidak akan segera produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Penggunaan sebidang tanah harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 jo. Pasal 16 Undangundang
Pokok Agraria (UUPA). Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan
atas tanah, baik dengan membebaskan tanah itu dari hak orang lain atau dengan memperoleh penunjukan dari
pemegang Hak Pengelolaan haruslah segera mengajukan permohonan hak kepada Menteri. Sementara itu yang
bersangkutan juga wajib memelihara tanah tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Pada dasarnya identifikasi mengenai adanya tanah yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar merupakan tugas
rutin Kantor Pertanahan sebagai pelaksana lapangan Badan Pertanahan Nasional.
Ayat (2)
Identifikasi mengawali kegiatan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, kegiatannya meliputi kegiatankegiatan
pengumpulan data tanah terlantar, baik menyangkut obyek maupun subyeknya. Identifikasi subyek meliputi
nama pemilik/pemegang hak atau yang menguasai tanah, alamat dan data subyek hak lainnya. Identifikasi obyek
tanah terlantar meliputi data, tentang letak tanah, luas tanah, status hak dan penggunaan saat ini, lamanya tanah
diterlantarkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 10
Penilaian mengenai apakah bidang tanah yang dimaksud Pasal ini dapat dinyatakan terlantar memerlukan
keikutsertaan instansi lain, karena rencana penggunaan tanah ini melibatkan kewenangan instansi-instansi lain
tersebut, misalnya mengenai usaha pertanian yang menggunakan tahan Hak Guna Usaha melibatkan instansi
pertanian dan sebagainya.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila pemegang hak atas tanah tidak mampu secara ekonomi untuk menggunakan tanahnya sebagaimana
mestinya, maka unsur kesengajaan tidak ada.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud “dihalangi pihak lain” meliputi juga apabila tanah tersebut masih dalam sengketa.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Peringatan tertulis tersebut menyebutkan hal-hal yang secara konkrit harus dilakukan oleh pemegang hak atau pihak
yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemindahan hak melalui pelelangan umum merupakan keharusan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang
berminat menggunakan atau mengembangkan tanah yang bersangkutan secara sungguh-sungguh.
Pasal 15
Ayat (1)
Bekas pemegang hak atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang bersangkutan tidak lagi berhak
menggunakan tanah tersebut dan harus menyerahkannya kepada pihak yang ditunjuk oleh Menteri sebagai
pemegang hak selanjutnya.
Ayat (2)
Yang dijadikan dasar perhitungan adalah harga perolehan yang dapat dibuktikan oleh yang bersangkutan.
Eskalasinya dilakukan menurut perhitungan yang biasa. Harus diingat bahwa penentuan harga ganti rugi ini
merupakan sanksi terhadap pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut
yang kemudian menelantarkan tanahnya, setelah kepadanya diberi kesempatan untuk menggunakan tanahnya sesuai
ketentuan yang berlaku dengan 3 kali peringatan (Pasal 13) dan terakhir kesempatan untuk mengalihkan tanahnya
dengan pelelangan umum (Pasal 14).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3745
Kutipan : Media Magnetik Milik Sekretariat Negara Tahun 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar